Ada sebuah quote yang kerap digunakan untuk menggambarkan dinamika sebuah hubungan—it takes two to tango. Karena menari tango haruslah berpasangan, quote tersebut menjelaskan secara ringkas bahwa hubungan tidak bisa berjalan lancar apabila hanya satu pihak yang berusaha sementara pihak lain tidak. Selain penting bahwa kedua belah pihak yang terlibat dalam suatu hubungan melakukan dansanya, tentunya mereka harus melakukan tarian yang sama. Apabila satu pihak menari tango sedangkan pihak lain menari popping, tariannya akan tampak tidak seirama. Apa yang akan terjadi apabila dinamika ini terjadi?
Konsultasi dengan psikolog sekarang
Let’s Meet the Anxious and the Avoidant
Setiap manusia memiliki tipe kelekatan (attachment) dengan pengasuh utamanya dan kelekatan ini akan mempengaruhi bagaimana seseorang menjalin relasi dengna orang lain, termasuk relasi romantis. Menurut teori attachment yang dikembangkan oleh Bowlby dan Ainsworth, tipe attachment dapat dikategorikan menjadi empat. Namun, artikel ini akan berfokus hanya pada dua tipe attachment yang saling bertolak-belakang, yaitu anxious dan avoidant.
Secara umum, orang dengan attachment yang anxious memiliki karakteristik seperti ini:
- Dibesarkan oleh pengasuh utama (e.g. ibu, ayah, nenek, dsb) yang menunjukkan kasih sayang, namun tidak secara konsisten sehingga terkadang mereka tampak dingin secara emosional. Kondisi ini menyebabkan object constancy—pemahaman bahwa sebuah hubungan bisa tetap lekat dan stabil meskipun mereka tidak selalu bersama atau sesekali ada konflik—menjadi kurang terbentuk.
- Tampak clingy, insecure, needy, atau cemburuan karena mereka butuh validasi konstan dari orang lain bahwa hubungan yang sedang dijalani baik-baik saja.
- Memiliki ketakutan akan ditinggalkan (abandonment issue) yang kuat.
- Terlalu berfokus pada orang lain dan mengabaikan diri sendiri (people-pleasing).
- Mudah tersulut secara emosional dengan trigger kecil.
- Secara konstan menginginkan kedekatan secara jarak. Apabila terpisah dari pasangannya, maka ia akan merasa cemas dan overthinking.
Sedangkan, orang dengan attachment yang avoidant memiliki karakteristik seperti ini:
- Dibesarkan dengan minimnya kehangatan emosional dan perhatian dari pengasuh utama. Kondisi ini menyebabkan timbul keyakinan bahwa ia tidak memerlukan keberadaan orang lain untuk bertahan hidup.
- Sering menghindar apabila pasangannya mengutarakan kebutuhan untuk diperhatikan atau menghabiskan waktu bersama karena merasa tidak nyaman menunjukkan afeksi. Mereka merasa pasangannya meminta sesuatu yang berlebihan.
- Secara fisik pun sering menghindar dan membutuhkan banyak “jarak”. Perilaku menghindar ini bisa berupa ghosting, sengaja tidak mengangkat telepon, sengaja tidak menjawab pesan, dan lain sebagainya.
- Merasa sulit untuk berkomitmen pada hubungan yang serius.
- Dingin dan berjarak secara emosional.
- Terlalu berfokus pada diri sendiri dan mengabaikan orang lain.
The Dance of Disconnection: Opposite Do Not Attract
Banyak orang meyakini bahwa pasangan yang bertolak-belakang dapat melengkapi satu sama lain. Keyakinan ini dikompori oleh berbagai fiksi seperti novel dan film yang seringkali menyorot chemistry menarik dari dua orang yang bertolak-belakang—si populer dan si kuper, si kaya dan si miskin, si periang dan si pendiam. Sudah banyak penelitian yang membuktikan bahwa opposite do not attract dan persamaanlah yang membuat hubungan dapat bertahan lama. Namun di dunia nyata, ternyata kelekatan yang bertolak-belakang (si anxious dan si avoidant) pun saling tarik-menarik satu sama lain. Kok bisa gitu?
engalaman di masa kecil membentuk persepsi cinta di masing-masing individu. Hal ini terjadi karena secara bawah sadar manusia menyukai hal yang familiar—familiar berarti aman, sudah tahu hasil akhirnya akan seperti apa. Tetapi, familiar belum tentu menyenangkan. Apabila orang tua kita dingin secara emosional (avoidant), kita menjadi individu yang merasa haus akan kasih sayang (anxious) tetapi secara bawah sadar akan memilih pacar yang mirip dengan orang tua kita sendiri, yaitu tidak available secara emosional (avoidant).
Ketika skenario ini terjadi, akan terjadi dinamika di mana ada satu pihak yang terus maju menjalin relasi lebih dalam demi memenuhi kebutuhannya akan kasih sayang, namun pihak lain malah menjauh dan tidak ingin berkomitmen karena tidak memiliki kapasitas emosional yang cukup. Dinamika ini disebut sebagai dance of disonnection—ada satu pihak yang mengejar (anxious) dan pihak lain berlari menjauh (avoidant). Selain itu, dua tipe kelakatan ini saling tarik-menarik karena dinamika yang unik, di mana anxious cenderung berfokus pada orang lain (pasangannya) dan avoidant cenderung berfokus pada dirinya sendiri. Lambat laun, ketika anxious merasa avoidant tidak mengerahkan usaha dan perhatian sebanyak dirinya, akan muncul rasa frustrasi dan menuntut, yang akhirnya membuat avoidant menjauh untuk melindungi diri.
Pertanyaannya: do opposites really attract? Pada dinamika anxious dan avoidant, di awal hubungan mungkin iya, mereka saling tertarik dengan satu sama lain. Perbedaan di antara mereka memunculkan rasa penasaran, keinginan untuk mengenal dunia pasangan lebih lanjut, dan chemistry yang unik untuk saling melengkapi. Namun seiring berjalannya waktu, akan terasa bahwa perbedaannya terlalu fundamental dan dapat memicu konflik berkepanjangan. Pada akhirnya, persamaan (similarities) dan compatibility-lah yang akan membuat sebuah hubungan bertahan.
What To Do Next?
Agar tidak terjebak dalam dinamika anxious-avoidant, cara termudahnya adalah tidak menjalin relasi romantis dengan seseorang yang memiliki tipe kelekatan bertolak-belakang dengan kita. Namun, sebenarnya individu anxious maupun avoidant bisa juga bertahan dalam hubungan, asalkan kedua belah pihak memiliki keinginan kuat untuk belajar menjadi secure dan ingin berproses secara mandiri maupun bersama.
Anxious perlu belajar untuk menenangkan diri saat merasa cemas ditinggalkan pasangan dan memahami bahwa pasangan avoidant-nya butuh waktu dan jarak agar siap menjalin koneksi. Bagi avoidant, menjalin relasi yang mendalam adalah sebuah hal yang menakutkan. Sangatlah wajar apabila mereka perlu waktu untuk belajar menjalin koneksi dan memercayai pasangannya, sehingga anxious pun perlu bersabar hingga avoidant cukup terbiasa dengan koneksi tersebut.
Di sisi lain, avoidant perlu belajar untuk mengidentifikasi tanda-tanda withdrawal yang ada pada dirinya dan memahami bahwa pasangan anxious-nya butuh kejelasan dan validasi. Individu anxious tumbuh dengan kasih sayang orang tua yang kadang ada, kadang tidak. Dengan memberikan kejelasan dan kepastian, kecemasan anxious akan mereda. Salah satu cara yang mudah adalah dengan menyepakati durasi untuk me-time atau cooling down bersama pasangan anxious daripada menghilang (ghosting) begitu saja.
Pada akhirnya, agar sebuah hubungan dapat bertahan, kedua belah pihak perlu memahami diri sendiri, mau belajar, dan mau berkompromi dengan pasangannya. Proses ini mungkin tidak mudah dan membutuhkan komitmen yang kuat, namun bukan berarti tidak mungkin untuk dilakukan. Dengan demikian, terciptalah dance of connection yang menunjang pasangan saling bertumbuh.
Sumber:
Heller, D. P. (2019). The power of attachment: How to create deep and lasting intimate relationships. Sounds True.
Larkin, K. (n.d.). Why do the anxious and avoidant attachment styles attract each other?
Lazarus, C. N. (2019, 30 Juli). Do opposites really attract?