Oleh: Putu Ayu Diansukma Ramadhani, M.Psi., Psikolog
Konsep introvert dan extrovert pertama kali diperkenalkan oleh psikolog Carl Gustav Jung sekitar tahun 1910-an untuk menjelaskan dua cara individu memfokuskan energi—apakah ke dalam atau ke luar dirinya sendiri. Pada umumnya, tidak ada yang lebih baik antara menjadi introvert dan extrovert karena keduanya memiliki karakteristik yang menguntungkan dan melemahkan, tergantung pada situasi yang sedang dihadapi seseorang. Karena cara pandang yang berbeda, terkadang orang introvert sulit memahami temannya yang extrovert, begitu pula sebaliknya. Yuk, kita kenalan dulu dengan si introvert dan extrovert!
Mengenal Si Introvert
Karakteristik umum individu dengan tendensi introvert adalah cenderung pendiam atau lebih sedikit berbicara dalam grup, menyukai aktivitas yang pasif dan soliter, penuh pertimbangan, dan lebih tidak menunjukkan emosi yang dirasakan karena dianggap sebagai privasi. Individu yang introvert lebih nyaman berinteraksi dalam grup kecil, komunikasi empat mata, dan mendapatkan energi dengan menghabiskan waktu sendirian. Mereka juga lebih suka memfokuskan energi pada satu hal sebelum beralih pada hal lain, serta menganalisis situasi sebelum bertindak dan berkata.
Namun, perlu diingat bahwa introvert tidak sama dengan pemalu. Ada banyak introvert yang tidak memiliki masalah dalam berteman, menjadi leader yang baik, mampu berkomunikasi dengan leluasa, serta melakukan public-speaking. Hanya saja, kegiatan yang melibatkan banyak orang cenderung menguras energinya. Setelah menghadiri sebuah acara sosial yang ramai, orang introvert cenderung membutuhkan waktu me-time untuk mengisi kembali energi.
Mengenal Si Extrovert
Karakteristik umum individu dengan tendensi extrovert adalah terkesan periang, banyak berbicara (talkative), senang melakukan interaksi sosial, dan lebih bersedia terbuka dengan apa yang ia pikir dan rasakan kepada orang lain. Alasan mengapa extrovert menyukai situasi sosial adalah ia mendapatkan energi dan rasa bersemangat dari interaksi dengan banyak orang dan kegiatan yang aktif. Ketika dihadapkan pada situasi yang membuat extrovert sulit keluar rumah atau bertemu dengan teman-teman, ia bisa menjadi sangat bosan. Karena terkesan lebih ramai, dominan, dan senang bersosialisasi, extrovert biasanya lebih populer di lingkungannya dibandingkan introvert, misalnya pada konteks sekolah atau tempat bekerja.
Di sisi lain, extrovert dianggap sebagai orang yang terlalu banyak berbicara, haus menjadi pusat perhatian, dan bergantung pada keberadaan orang lain untuk merasa senang. Pada kenyataannya, tidak sedikit orang extrovert yang menggunakan popularitas dan kemampuan berbicaranya untuk menyuarakan hal-hal baik, serta menjangkau teman-teman yang lebih pendiam atau di-bully.
Introvert dan Extrovert Bukan Dua Kubu, Melainkan Sebuah Kontinum
Berdasarkan penjelasan di atas, tampak jelas bahwa introvert dan extrovert bagaikan dua kubu yang sangat berbeda. Introvert menyukai ketenangan, sedangkan extrovert menyukai keramaian. Padahal sebenarnya introvert dan extrovert bukanlah kubu, melainkan sebuah kontinum. Ada situasi di mana orang introvert menikmati berada di lingkungan sosial yang ramai, ada pula situasi di mana orang extrovert memerlukan waktu untuk menyendiri.
Terkadang, Perbedaan Karakteristik Keduanya Dapat Memicu Kesalahpahaman
Karena introvert dan extrovert memandang dunia dengan cara yang berbeda, ada kalanya mereka sulit memahami satu sama lain. Orang yang extrovert terkadang lupa bahwa temannya yang introvert tidak suka terlalu diulik persoalan personalnya kecuali ia duluan yang mengungkapkannya. Di sisi lain, orang yang introvert juga bisa lupa bahwa temannya yang extrovert membutuhkan teman yang dapat mendengar keluh-kesahnya meskipun terkesan sepele.
Cara Membersamai Si Introvert dalam Mengelola Emosinya: Dengan Memberi Jarak yang Cukup
Sebenarnya orang introvert juga dapat merasakan emosi yang intens seperti pada orang extrovert. Namun, seringkali emosi tersebut tidak ditunjukkan secara terang-terangan sehingga orang yang introvert terkesan memiliki “hati baja” atau “poker face”. Ketika orang introvert merasa kesal atau sedih, secara naluriah mereka menyembunyikan emosi dan menghindari interaksi dengan orang lain karena kebutuhannya untuk mengelola emosi secara privat. Dengan melakukan refleksi diri, orang introvert akan untuk menganalisis hal yang terjadi padanya dan mengelola perasaan agar merasa siap mengemukakan pikiran dan perasaannya kepada orang lain. Terkadang, orang lain yang mengulurkan tangannya untuk membantu orang introvert yang sedang mengalami kesulitan merasa ditolak karena karakteristik ingin menyendiri tersebut. Orang extrovert yang biasa mengekspresikan emosinya dengan lugas bisa jadi merasa frustrasi dengan keengganan introvert untuk terbuka.
Pada situasi seperti ini, kesabaran merupakan kunci penting dalam membersamai introvert dalam perjalanannya menghadapi masalah karena sebenarnya orang introvert bukannya tidak mau terbuka, tapi membutuhkan waktu untuk memproses emosi secara mandiri terlebih dahulu. Kesabaran yang dimaksud bukan berarti meninggalkan orang introvert seorang diri begitu saja, karena bahkan orang introvert sekalipun tidak menyukai rasa kesepian. Anda dapat memberitahu anggota keluarga, teman, atau orang lain yang introvert bahwa kita selalu membersamainya dan akan mendengarkan jika ia sudah siap untuk menceritakan bebannya. Dengan demikian, introvert mengetahui bahwa ia tidak sendirian dalam menghadapi masalah ini, bahkan merasa dihargai karena diberikan waktu untuk memprosesnya seorang diri terlebih dahulu.
Cara Membersamai Si Extrovert dalam Mengelola Emosinya: Dengan Tidak Memaknai Ledakan Emosinya Secara Personal
Karena karakteristiknya yang memfokuskan energi dari luar diri, orang extrovert biasanya mencari kelegaan dari orang lain saat dihadapkan dengan masalah. Mereka cenderung mengemukakan emosi yang dirasakan dan meminta bantuan secara aktif. Oleh karena itu, sangat mudah bagi orang lain untuk mengetahui kapan seorang extrovert mengalami sesuatu yang tidak menyenangkan. Ada tiga reaksi umum orang extrovert saat merasa kesal atau sedih, yaitu cenderung membesar-besarkan reaksinya terhadap masalah dan memproyeksikan kesalahan pada orang lain. Karakteristik ini didasari oleh kebutuhan extrovert dalam mengekspresikan dirinya dengan lugas, dan kebutuhan tersebut menjadi lebih kuat ketika ia ingin menyuarakan ketidaknyamanannya.
Seringkali saat situasi sudah menjadi tenang dan extrovert lupa akan emosinya yang menggebu-gebu, ia menjadi heran ketika orang lain (terutama orang introvert yang cenderung menganalisis emosi) masih merasa tersakiti atas apa yang ia luapkan. Daripada menjauhi extrovert tersebut, pada situasi seperti ini yang bisa Anda lakukan adalah tidak memaknai semua luapan emosi orang extrovert secara personal, terutama apabila kita bukan target luapan emosi yang sesungguhnya. Saat menghadapi suatu masalah, extrovert biasanya ingin mencari koneksi dan pengertian dari orang lain yang dapat membersamainya di masa sulit. Terlalu cepat mengajak mereka berpikir objektif hanya akan menguatkan reaksi defensif mereka. Oleh karena itu, penting untuk mendengarkan hingga emosi extrovert sudah mereda, barulah Anda bisa mengajaknya berdiskusi mengenai emosi yang dirasakan dengan lebih jernih dan menilai permasalahan dengan lebih objektif. Namun, bukan berarti Anda juga bisa terus-menerus dijadikan samsak pelampiasan emosi bagi teman ekstrovert Anda. Demi kesehatan mental Anda sendiri, tidak kalah penting membangun boundaries yang sehat. Perlu diingat bahwa boundaries yang sehat bukan hanya baik untuk Anda, melainkan juga baik untuk orang lain.
Sumber:
Gibson, L. C. (2021). Self-care for adult children of emotionally immature parents. New Harbinger Publications, Inc.
Guy-Evans. (2021, 09 Februari). Introvert and extrovert personality traits. Diakses dari https://www.simplypsychology.org/introvert-extrovert.html